web hit counter Kerajaan Kediri : Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Beserta Kehidupan Politiknya Secara Lengkap - idhealt.com

Kerajaan Kediri : Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Beserta Kehidupan Politiknya Secara Lengkap

idhealt.com – Tahukah kamu tentang Kerajaan kediri.?
Jika kamu belum mengetahuinya kamu tepat sekali mengunjungi website ini. Dikarenakan pada
kesempatan kali ini akan membahas tentang sejarah Kerajaan Kediri, raja-raja Kerajaan kediri,
peninggalan Kerajaan kediri, dan kehidupan politik Kerajaan Kediri secara lengkap.

Oleh dikarenakan itu marilah simak ulasan yang ada dibawah berikut ini.

Sejarah Kerajaan Kediri

Daftar Baca Cepat tampilkan

AWAL MULA 

Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan berasal dari Kerajaan Wangsa Isyana (Kerajaan Medang
Kamulan). Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah suatu kerajaan yang bercorak Hindu
terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak
di kira-kira Kota Kediri sekarang.

Sesungguhnya kota Daha telah ada sebelum Kerajaan Kediri berdiri. Daha merupakan singkatan
berasal dari Dahanapura, yang vital kota api. Sebutan ini terdapat di dalam prasasti Pamwatan
yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini disesuaikan dengan kabar di dalam Serat Calon
Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan telah tidak lagi berada di
Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.

Kerajaan ini merupakan salah satu berasal dari dua kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045
Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan. Pada akhir November 1042,
Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing
memperebutkan tahta.

Putra yang bernama Sri Samarawijaya memperoleh kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat
di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan beroleh kerajaan
timur bernama Jenggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Tidak ada bukti yang paham
bagaimana kerajaan itu dipecah dan jadi lebih dari satu bagian.

Di dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tapi di dalam
perkembangannya cuman dua kerajaan yang kerap disebut, yaitu Kediri (Panjalu) dan Jenggala.
Samarawijaya sebagai pewaris legal kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan
julukan kerajaannya diubah jadi Panjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri.

Pertumbuhan Kerajaan Kediri Didalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha
tumbuh jadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala
ditaklukkan oleh Kediri.

Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah jadi dua, sebutan kerajaan yang dipimpin Airlangga
udah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Menjadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan
berasal dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah julukan kota lama yang udah ditinggalkan Airlangga
dan lantas jadi ibu kota Janggala.

Pada mulanya, julukan Panjalu atau Pangjalu memang lebih kerap dipakai berasal dari pada
julukan Kediri. Hal ini dapat dijumpai di dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja
Kediri. Lebih-lebih, sebutan Panjalu juga dikenal sebagai Pu-Chia-Lung didalam kronik Cina
berjudul Ling wai tai ta (1178).

Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.Tak banyak yang diketahui
peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara (1116-1136) menikah dengan Dewi
Kirana, puteri Kerajaan Janggala. Dengan demikian, berakhirlah Janggala ulang dipersatukan
dengan Kediri. Kediri jadi kerajaan yang lumayan kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab Kakawin
Smaradahana, yang dikenal di dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji.

Sebutan Kediri ada yang berpendapat berasal berasal dari kata “Kedi” yang artinya “Mandul” atau
“Wanita yang tidak berdatang bulan”.menurut kamus Jawa Antik Wojo Wasito, ‘Kedi” penting Orang
Kebiri Bidan atau Dukun. Di didalam lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di
Negara Wirata, bernama “Kedi Wrakantolo”.

Bila kami hubungkan dengan julukan tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng,
“Kedi” signifikan Kudus atau Wadad. Disamping itu kata Kediri berasal berasal dari kata “Diri” yang
penting Adeg, Angdhiri, menghadiri atau jadi Raja (Bahasa Jawa Jumenengan).

Untuk itu dapat kita baca pada prasasti “WANUA” tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi :

”Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban”, artinya : pada
tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban. Julukan Kediri banyak terdapat
pada kesusatraan Antik yang berbahasa Jawa Antik seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara
Kertagama dan Kitab Calon Arang.

Demikian pula pada sebagian prasasti yang menyebutkan sebutan Kediri seperti : Prasasti Ceber,
berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan
Mojo.Didalam prasasti ini menyebutkan, dikarenakan rakyat Ceker berjasa kepada Raja, maka
mereka beroleh hadiah, “Tanah Perdikan”.

Didalam prasasti itu tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” artinya raja sudah
ulang kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri.Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten
Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais lepas 31 Agustus
1194.Pada prasasti itu juga menyebutkan julukan, Kediri, yang diserang oleh raja berasal dari
kerajaan sebelah timur.

“Aka ni satru wadwa waktu sangke purnowo”, supaya raja meninggalkan istananya di Katangkatang
(“Tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja
siniwi ring bhumi kadiri”).

Tatkala Bagawantabhari mendapatkan anugerah tanah perdikan berasal dari Raja Rake Layang
Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.Sebutan Kediri semula kecil lalu
berkembang jadi julukan Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal sampai sekarang.

Raja-Raja Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri yang termasyhur pernah diperintah 8 raja berasal dari awal berdirinya hingga masa
keruntuhan kerajaan ini. Berasal dari kedelapan raja yang pernah memerintah kerajaan ini yang
bisa membawa Kerajaan Kediri kepada masa keemasan adalah Prabu Jayabaya, yang sangat
terkenal sampai saat ini.

Adapun 8 raja Kediri tersebut urutannya sebagai berikut :

  • 1. Sri Jayawarsa

Sejarah tentang raja Sri Jayawarsa ini sekedar dapat diketahui berasal dari prasasti Sirah Keting
(1104 M). Pada masa pemerintahannya Jayawarsa memberikan hadiah kepada masyarakat desa
sebagai tanda penghargaan, sebab masyarakat udah berjasa kepada raja. Berasal dari prasasti itu
diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar perhatiannya pada penduduk dan berupaya
menambah kesejahteraan rakyatnya.

  • 2. Sri Bameswara

Raja Bameswara banyak meninggalkan prasasti seperti yang ditemukan di daerah Tulung Agung
dan Kertosono. Prasasti seperti yang ditemukan itu lebih banyak memuat masalah-masalah
keagamaan, sehingga sangat baik diketahui keadaan pemerintahannya.

  • 3. Prabu Jayabaya

Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Taktik
kepemimpinan Prabu Jayabaya di dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat
mengagumkan. Kerajaan yang beribu kota  di Dahono Puro, bawah kaki Gunung Kelud, ini
tanahnya terlalu fertile, supaya segala macam flora tumbuh menghijau.

Hasil pertanian dan perkebunan segudang ruah. Di sedang kota membelah genre sungai Brantas.
Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, agar makanan berprotein dan bergizi selalu
tercukupi. Hasil bumi itu sesudah itu diangkut ke kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik
bahtera menelusuri sungai.

Roda perekonomian terjadi lancar, supaya Kerajaan Kediri benar-benar dapat disebut sebagai
negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja”. Prabu Jayabaya memerintah
antara tahun 1130 hingga 1157 Masehi. Pemberian spiritual dan material berasal dari Prabu
Jayabaya di dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung.

Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang
sepanjang masa. Jika penduduk kecil sampai saat ini ingat kepada beliau, hal itu perlihatkan bahwa
pada masanya berkuasa tindakan beliau yang selalu bijaksana dan adil pada masyarakat.

  • 4. Sri Sarwaswera

Sejarah tentang raja ini didasarkan pada prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan
(1161). Sebagai raja yang taat beragama dan berbudaya, Sri Sarwaswera memegang teguh prinsip
“Tat wam asi”, yang vital “Dikaulah itu, dikaulah (Seluruh) itu, seluruh makhluk adalah engkau”.

Menurut Prabu Sri Sarwaswera, tujuan hidup manusia yang paling akhir adalah moksa, yaitu
pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju arah
kesatuan, supaya segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.

  • 5. Sri Aryeswara

Berdasarkan prasasti Angin (1171), Sri Aryeswara adalah raja Kediri yang memerintah kurang lebih
tahun 1171. Sebutan gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara
Madhusudanawatara Arijamuka.

Tidak diketahui dengan tentu kapan Sri Aryeswara naik tahta. peninggalan sejarahnya berupa
prasasti Angin, 23 Maret 1171. Lambang Kerajaan Kediri pada saat itu Ganesha. Tidak diketahui
pula kapan pemerintahannya berakhir. Raja Kediri kelanjutannya berdasarkan prasasti Jaring
adalah Sri Gandra.

  • 6. Sri Gandra

Masa pemerintahan Raja Sri Gandra (1181 M) dapat diketahui dari prasasti Jaring, yaitu tentang
penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti seperti nama gajah, kebo, dan tikus. Nama-
nama tersebut menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang dalam istana.

  • 7. Sri Kameswara

Masa pemerintahan Raja Sri Gandra dapat diketahui berasal dari Prasasti Ceker (1182) dan
Kakawin Smaradhana. Pada masa pemerintahannya berasal dari tahun 1182 hingga 1185 Masehi,
seni sastra mengalami pertumbuhan sangat pesat, diantaranya Empu Dharmaja mengarang kitab
Smaradhana. Apalagi pada masa pemerintahannya juga dikeal cerita-cerita panji seperti cerita
Panji Semirang.

  • 8. Sri Kertajaya

Berdasarkan prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti
Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton, pemerintahan Sri Kertajaya terjadi pada
tahun 1190 sampai 1222 Masehi.

Raja Kertajaya juga dikenal dengan julukan “Dandang Gendis”. Selama masa pemerintahannya,
kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Kertajaya ingin kurangi hak-hak kaum Brahmana.
Situasi ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri waktu itu
semakin tidak aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta dukungan ke Tumapel yang saat
itu diperintah oleh Ken Arok.

Menyadari hal ini Raja Kertajaya sesudah itu mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel.
Selagi itu Ken Arok dengan bantuan kaum Brahmana laksanakan agresi ke Kerajaan Kediri. Kedua
pasukan itu bertemu di dekat Ganter (1222 M).

Kitab / Sistem Perundang-undangan Kediri

Sistem Perundang-Undangan Kerajaan Kediri disusun oleh para pakar hukum yang tergabung
didalam Dewan Kapujanggan Istana. Sebelum menjalankan tugasnya para ahli hukum tadi
senantiasa lakukan belajar banding didalam hal penyusunan hukum dan juga konstitusi berasal dari
negeri lain. Product hukum yang udah dihasilkan oleh dewan itu yaitu Kitab Darmapraja.

Kitab ini merupakan karya pustaka yang memuat Tata Tertib Penyelenggaraan Pemerintahan dan
Kenegaraan. Didalam soal pengadilan, Raja selalu mengikuti Undang-Undang ini, supaya adil
segala ketentuan yang diambilnya, menyebabkan suka seluruh pihak (Brandes, 1896:88).

Pada pasal-pasal kitab itu, kata “Agama” dapat ditafsirkan sebagai Undang-Undang atau Kitab
Perundang-Undangan. Kadang yang berbeda ini perumusannya saja, yang satu lebih panjang
daripada yang lain dan merupakan kelengkapan atau klarifikasi berasal dari pasal homogen yang
pendek. Kitab Perundang-Undangan Agama adalah terutama Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Tetapi di samping Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat juga Undang-Undang
Hukum Perdata.

Tata cara jual-beli, pembagian warisan, pernikahan dan perceraian masuk di dalam Undang-
Undang Hukum Perdata (Hazeu, 1987:87). Memang pada zaman Kadiri belum ada perincian tegas
antara Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Menurut sejarah per Undang-
Undangan Hukum Perdata tumbuh berasal dari Hukum Pidana, menjadi percampuran Hukum
Perdata dan Hukum Pidana didalam Kitab Perundang-Undangan Agama di atas bukan sebuah
keganjilan ditinjau berasal dari segi sejarah hukum.

Sistem Peradilan Kerajaan Kediri

Platform peradilan Kerajaan Kediri bertujuan untuk mencapai kepastian hukum didalam
penyelenggaraan pemerintahan dan kerajaan (Stutterheim, 1930:254). Dengan adanya kepastian
hukum, maka hak dan kewajiban seluruh warga kerajaan dapat dijamin. Ekuilibrium antara hak dan
kewajiban warga kerajaan udah membuktikan dan juga membuahkan ketentraman lahir dan batin.

Aparat dan masyarakat menghormati hukum atau pengabdian semata-mata demi terjaganya
kepentingan dengan. Seluruh ketetapan di dalam pengadilan diambil atas julukan Raja yang
disebut Sang Amawabhumi artinya orang yang miliki atau menguasai negara. Didalam Mukadimah
Darmapraja ditegaskan demikian:

Semoga Sang Amawabhumi teguh hatinya didalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan
hingga salah trap. Jangan hingga orang yang bertingkah salah, luput berasal dari tindakan.
Itulah kewajiban Sang Amawabhumi, jika beliau mengharapkan kerahayuan negaranya
(Moedjanto, 1994:56).

Di dalam soal pengadilan, Raja dibantu oleh dua orang Adidarma Dyaksa. Seorang Adidarma
Dyaksa Kasiwan dan seorang Adidarma Dyaksa Kabudan, yakni kepala agama Siwa dan kepala
agama Buda dengan julukan Sang Maharsi, gara-gara kedua agama itu merupakan agama utama
didalam Kerajaan Kadiri dan segala Perundang-Undangan didasarkan agama.

Kedudukan Adidarma Dyaksa boleh disamakan dengan kedudukan Hakim Tinggi. Mereka itu
dibantu oleh lima Upapati artinya : pembantu didalam pengadilan adalah pembantu Adidarma
Dyaksa. Mereka itu biasa disebut Pamegat atau Sang Pamegat artinya : Sang Pemutus alias
Hakim. Baik Adidarma Dyaksa maupun Upapati bergelar Sang Maharsi. Mula-Mula jumlahnya
sebatas lima yakni : Sang Pamegat Tirwan, Sang Pamegat Kandamuhi, Sang Pamegat Manghuri,
Sang Pamegat Jambi, Sang Pamegat Pamotan.

Mereka itu semuanya termasuk golongan Kasiwan, gara-gara agama Siwa adalah agama formal
negara Kadiri dan punyai pengikut paling banyak. Pada zaman pemerintahan Prabu Jayabhaya
jumlah Upapati ditambah dua jadi tujuh. Keduanya termasuk golongan Kabudan, agar ada lima
Upapati Kasiwan dan dua Upapati Kabudan.

Perbandingan itu telah layak mengingat jumlah pemeluk agama Buda kalah banyak dengan
jumlah pemeluk agama Siwa. Dua Upapati Kabudan itu ialah Sang Pamegat Kandangan Tuha dan
Sang Pamegat Kandangan Rare. Ketika Prabu Jayabaya bertahta di Mamenang, beliau dihadap
oleh pelbagai pembesar, di antaranya Dyaksa, Upapati dan Para Panji yang tahu tentang
Undang – Undang (Rassers, 1959:243).

Berasal dari uraian itu konkret bahwa Para Panji adalah pembantu para Upapati di dalam
laksanakan pengadilan di area-area. Pangkat Panji masih dikenal di kesultanan Yogyakarta hingga
tahun 1940. Para Panji di Kesultanan Yogya diserahi tugas pengadilan. Menjadi tidak berbeda
dengan Para Panji pada zaman Kadiri.

Forum peradilan kerajaan ini bertanggung jawab kepada Raja secara langsung. Akan tapi silang
konkurensi yang menyangkut kepenting¬an Raja dan keluarganya, menggunakan peradilan
spesifik, supaya kontaminasi dan hegemoni pada hasil putusan dapat dihindari. Didalam hal ini
Raja memiliki staf hukum yang mumpuni, profesional dan tidak diragukan lagi integritas dan juga
kredibilitasnya.

Hukum Positif dan Budaya Simbolik

Didalam masa pemerintahan Prabu Jayabaya, prinsip pelaksanaan kenegaraan terbagi jadi dua
yakni hukum positif dan budaya simbolik. Hukum positif merupakan hukum yang berlaku berdasar
keputusan tertulis yang disepakati dengan. Biasanya hukum ini bersifat praktis, tekhnis dan mikro.
Seluruh transaksi dan lika-liku kehidupan yang menyang kut jual beli, dagang, ekonomi, politik,
karier, birokrasi, organisasi dan perkawinan diatur secara rinci. Pelanggaran hukum dan dendanya
pun diatur secara detail.

Di samping hukum positif, di dalam menata masyarakatnya Prabu Jayabhaya menggunakan
pendekatan budaya simbolik. Untuk membantu kesuksesan program ini, maka diperintahkanlah
para pujangga untuk menulis karya cipta. Tujuannya sehingga aparat dan masyarakat patuh pada
kebiasaan susila. Semata-mata saja apabila berlangsung pelanggaran maka sanksi dan sangsinya
bersifat ghaib spiritual. Pujangga yang diberi tugas menulis kitab spiritual itu di antaranya adalah
Empu Sedah dan Empu Panuluh.

Empu Sedah adalah penyusun Kakawin Baratayudha pada tahun 1079 Saka atau 1157 Masehi,
dengan sengkalan berbunyi Sangha Kuda Suddha Candrama. Cuman saja, Empu Sedah keburu
meninggal sebelum karyanya selesai. Kakawin Baratayudha dipersembahkan kepada Prabu
Jayabhaya, Mapanji Jayabhaya, Jayabhaya Laksana atau Sri Warmeswara.

Taraf kecerdasan penduduk memang berbeda-beda. Hukum positif yang disusun oleh elit negara,
kadang selagi tidak cukup bisa dipahami oleh penduduk awam. Kondisi ini disadari oleh para Raja
Kadiri. Oleh sebab itu demi terciptanya susasana yang serasi, kemudian diciptakan nasehat-
nasehat simbolis berbau mistis. Kenyataannya pesan-pesan spitirual Prabu Jayabhaya yang
dibungkus dengan ramalan ghaib tadi dipercaya oleh beberapa besar penduduk. Sebagai
pelengkap dan pengiring hukum positif, maka budaya simbolik itu dapat digunakan untuk mencapai
ketertiban sosial.

Prabu Jayabaya adalah raja besar laksana Dewa Keadilan yang angejawantah ing madyapada.
Sikap hidupnya benar-benar bijaksana. Kewibawaannya udah mengakibatkan ketentraman dan
kemuliaan jagat raya, yang mengakibatkan Kerajaan Kadiri mencapai masa kejayaan dan
keemasan.

Selama Prabu Jayabaya memegang kendali pemerintahan dan tata praja, Nusantara sungguh-
sungguh diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara, Asia Sedang dan Asia Selatan. Beliau berhasil
mewujudkan negara yang Gedhe Obore, Padhang Jagade, Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane,
Ampuh Kawibawane. Penduduk merasakan negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem
Karta Raharja. Konsep Saptawa, dijadikan sebagai program utama yaitu :

1.Wastra (sandang)
2. Wareg (pangan)
3. Wisma (papan)
4. Wasis (pendidikan)
5. Waras (kesehatan)
6. Waskita (keruhanian), dan
7. Wicaksana (kebijaksanaan).

Penduduk Jawa yakin bahwa Prabu Jayabaya selalu bersikap arif dan bijaksana dan juga
menjunjung hukum yang berlaku. Seluruh golongan rakyat manunggal padu menunjang
pemerintahannya. Refleksi kearifan warisan para leluhur raja Jawa dijadikan referensi untuk
membawa kebesaran Nusantara.

Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Kediri, di samping faktor kepemimpinan rajanya yang selalu
utamakan kepentingan umum, juga didukung oleh kejeliannya didalam menyusun Undang-Undang
dasar yang mengikat sekalian warganya. Kepatuhan pada konstitusi udah membawa dampak
ketertiban di semua kawasan Kerajaan Kadiri.

Aparat kerajaan yang terdiri berasal dari pejabat sipil dan militer bekerja disesuaikan dengan
amanat konstitusi, supaya segala kebijakan kerajaan membuahkan kemakmuran dan ketentraman
penduduk.

Bukti Peninggalan Sejarah Kerajaan Kediri

Sumber sejarah kerajaan Kediri dapat di telusuri dari beberapa prasasti dan berita asing di
antaranya :

  1. Prasasti Banjaran berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atas Jenggala.
  2. Prasasti Hantang berangka tahun 1052 M menjelaskan Panjalu pada masa Jayabaya.
  3. Prasasti Sirah Keting (1104 M), memuat pemberian hadiah tanah kepada rakyat desa oleh
    Jayawarsa.
  4. Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono berisi masalah keagamaan, berasal
    dari raja Bameswara.
  5. Prasasti Ngantang (1135M), menyebutkan raja Jayabaya yang memberikan hadiah kepada rakyat
    desa Ngantang sebidang tanah yang bebas dari pajak.
  6. Prasasti Jaring (1181M), dari raja Gandra yang memuat sejumlah nama pejabat dengan
    menggunakan nama hewan seperi Kebo Waruga dan Tikus Jinada.
  7. Prasasti Kamulan (1194M) , memuat masa pemerintahan Kertajaya, dimana Kediri berhasil
    mengalahkan musuh yang telah memusuhi istana Katang-Katang.
  8. Candi Penataran : Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat
    daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter dpl. Dari prasasti
    yang tersimpandi bagian candi diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja Srengga
    dari Kerajaan Kedirisekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut digunakan sampai masa
    pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415.
  9. Candi Gurah : Candi Gurah terletak di kecamatan di Kediri, Jawa Timur. Pada tahun1957 pernah
    ditemukan sebuah candi yang jaraknya kurang lebih 2 km dari Situs Tondowongso yang dinamakan
    Candi Gurah namun karena kurangnya dana kemudian candi tersebut dikubur kembali.
  10. Candi Tondowongso : Situs Tondowongso merupakan situs temuan purbakala yang ditemukan
    pada awal tahun 2007 di Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs seluas lebih dari satu
    hektare ini dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode klasik sejarah Indonesia dalam 30
    tahun terakhir (semenjak penemuan Kompleks Percandian Batujaya), meskipun Prof.Soekmono
    pernah menemukan satu arca dari lokasi yang sama pada tahun 1957.

    Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya sejumlah arca oleh sejumlah perajin batu bata
    setempat. Berdasarkan bentuk dan gaya tatahan arca yang ditemukan, situs ini diyakini sebagai
    peninggalan masa Kerajaan Kediri awal (abad XI), masa-masa awal perpindahan pusat politik dari
    kawasan Jawa Tengah ke Jawa Timur. Selama ini Kerajaan Kediri dikenal dari sejumlah karya
    sastra namun tidak banyak diketahui peninggalannya dalam bentuk bangunan atau hasil pahatan.

  11. Arca Buddha Vajrasattva : Arca Buddha Vajrasattva ini berasal dari zaman Kerajaan Kediri
    (abad X/XI). Dan sekarang merupakan Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
  12. Prasasti Galunggung : Prasasti Galunggung memiliki tinggi sekitar 160 cm, lebar atas 80 cm, lebar
    bawah 75 cm. Prasasti ini terletak di Rejotangan, Tulungagung. Di sekeliling prasasti Galunggung
    banyak terdapat tulisan memakai huruf Jawa kuno.Tulisan itu berjajar rapi. Total ada 20 baris yang
    masih bisa dilihat mata.

    Sedangkan di sisi lain prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran rusak dimakan usia. Di bagian
    depan, ada sebuah lambang berbentuk lingkaran. Di tengah lingkaran tersebut ada gambar persegi
    panjang dengan beberapa logo. Tertulis pula angka 1123 C di salah satu sisi prasasti.

  13. Candi Tuban : Pada tahun 1967, ketika gelombang tragedi 1965 melanda Tulungagung. Aksi
    Ikonoklastik, yaitu aksi menghancurkan ikon – ikon kebudayaan dan benda yang dianggap berhala
    terjadi. Candi Mirigambar luput dari pengrusakan karena adanya petinggi desa yang melarang
    merusak candi ini dan kawasan candi yang dianggap angker.

    Massa pun beralih ke Candi Tuban, dinamakan demikian karena candi ini terletak di Dukuh Tuban,
    Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Candi ini terletak sekitar 500
    meter dari Candi Mirigambar. Candi Tuban sendiri hanya tersisa kaki candinya. Setelah dirusak,
    candi ini dipendam dan kini diatas candi telah berdiri kandang kambing, ayam dan bebek.

    Menurut Pak Suyoto, jika warga mau kembali menggalinya, maka kira – kira setengah sampai satu
    meter dari dalam tanah, pondasi Candi Tuban bisa tersingkap dan relatif masih utuh. Pengrusakan
    atas Candi Tuban juga didasari legenda bahwa Candi Tuban menggambarkan tokoh laki – laki Aryo
    Damar, dalam legenda Angling Dharma dan jika sang laki – laki dihancurkan, maka dapat dianggap
    sebagai kemenangan.

  14. Prasasti Panumbangan : Pada tanggal 2 Agustus 1120 Maharaja Bameswara mengeluarkan
    prasasti Panumbangan tentang permohonan penduduk desa Panumbangan agar piagam mereka
    yang tertulis di atas daun lontar ditulis ulang di atas batu. Prasasti tersebut berisi penetapan desa
    Panumbangan sebagai sima swatantra oleh raja sebelumnya yang dimakamkan di Gajapada.
    Raja sebelumnya yang dimaksud dalam prasasti ini diperkirakan adalah Sri Jayawarsa.
  15. Prasasti Talan : Prasasti Talan/ Munggut terletak di Dusun Gurit, Kabupaten Blitar. Prasasti ini
    berangka tahun 1058 Saka (1136 Masehi). Cap prasasti ini adalah berbentuk
    Garudhamukalancana pada bagian atas prasasti dalam bentuk badan manusia dengan kepala
    burung garuda serta bersayap.

    Isi prasasti ini berkenaan dengan anugerah sima kepada Desa Talan yang masuk wilayah
    Panumbangan memperlihatkan prasasti diatas daun lontar dengan cap kerajaan Garudamukha
    yang telah mereka terima dari Bhatara Guru pada tahun 961 Saka (27 Januari 1040 Masehi) dan
    menetapkan Desa Talan sewilayahnya.

    Sebagai sima yang bebas dari kewajiban iuran pajak sehingga mereka memohon agar prasasti
    tersebut dipindahkan diatas batu dengan cap kerajaan Narasingha. Raja Jayabhaya mengabulkan
    permintaan warga Talan karena kesetiaan yang amat sangat terhadap raja dan menambah
    anugerah berupa berbagai macam hak istimewa.

Peninggalan Kitab Kerajaan Kediri

Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat sehingga banyak karya sastra yang dihasilkan.
Karya sastra tersebut adalah sebagai berikut :

  • Kitab Wertasancaya karangan Empu Tan Akung yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair
    yang baik.
  • Kitab Smaradhahana yang digubah oleh Empu Dharmaja dan berisi pujian kepada raja sebagai
    titisan Dewa Kama. Kitab ini juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
  • Kitab Lubdaka karangan Empu Tan Akung yang berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu
    yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya
    diangkat ke surga.
  • Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi
    dikasihi setiap orang karean suka menolong dan sakti.
  • Kitab Samanasantaka karangan Empu Monaguna yang mengisahkan Bidadari Harini yang
    terkenal untuk Begawan Trenawindu.
  • Kitab Baharatayuda yang diubah oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh.
  • Kitab Gatotkacasraya dan Kitab Hariwangsa yang diubah oleh Empu Panuluh.

Kehidupan Politik Dan Pemerintahan Kerajaan Kediri

Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M).
Mapanji Alanjung sesudah itu diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang
konsisten menerus antara Jenggala dan Panjalu sebabkan selama 60 tahun tidak ada kabar yang
sadar tentang kedua kerajaan itu sampai munculnya julukan Raja Bameswara (1116 – 1135 M)
berasal dari Kediri.

Pada masa itu ibu kota Panjalu udah dipindahkan berasal dari Daha ke Kediri agar kerajaan ini
lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan
berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Sesudah
Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang didalam masa pemerintahannya itu berhasil
mengalahkan Jenggala. Berturut-Turut raja-raja Kediri semenjak Jayabaya sebagai berikut.

Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan jadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha
memulihkan ulang kewibawaan Medang Kamulan, sehabis kewibawaan kerajaan berahasil
dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan berasal dari Medang Kamulan ke
Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran.

Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk mundur berasal dari pemerintahan dan
jadi pertapa dengan julukan Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M. Pewaris tahta
kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir berasal
dari seorang permaisuri. Tetapi karena memilih jadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga
yang lahir berasal dari selir.

Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi jadi dua yaitu kerajaan Jenggala
dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Namun upaya itu
mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat sampai abad ke 12 , dimana Kediri tetap jadi kerajaan
yang fertile dan makmur tetapi tetap tidak damai sepenuhnya karena dibayang- bayangi Jenggala
yang berada didalam posisi yang lebih lemah.

Hal itu menjadikan situasi gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berjalan pada pangeran
dan raja – raja antar kedua negara. Tapi perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala,
kerajaan ulang dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri

Taktik kepemimpinan Prabu Jayabaya didalam memakmurkan rakyatnya memang sangat
mengagumkan (Gonda, 1925 : 111). Kerajaan yang beribukota di Dahanapura bawah kaki Gunung
Kelud ini tanahnya benar-benar fertile, supaya segala macam flora tumbuh menghijau. Pertanian
dan perkebunan hasilnya tak terhitung ruah. Di sedang kota membelah genre sungai Brantas.
Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, supaya makanan berprotein dan bergizi selalu
tercukupi.

Hasil bumi itu sesudah itu diangkut ke Kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik bahtera
menelusuri sungai. Roda perekonomian terjadi lancar agar Kerajaan Kadiri benar-benar dapat
disebut sebagai negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja.

Didalam kehidupan ekonomi diceritakan bahwa perekonomian Kediri bersumber atas bisnis
perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras,menanam kapas
dan memelihara ulat sutra. Dengan demikian dipandang dariaspek ekonomi, kerajaan Kediri telah
memadai makmur.

Hal ini terlihat berasal dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para
pegawainya meskipun sekedar dibayar dengan hasil bumi. Demikian keterangan yang diperoleh
berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-Wai-Tai-Ta. Untuk mendukung penghasilan kerajaan,
diberlakukan platform pajak. Komoditas dagang berupa beras, emas, perak, daging,  dan kayu
cendana. Adapun bentuk pajak berupa beras, kayu, dan palawija.

Kehidupan Agama dan Spiritual Kerajaan Kediri

Agama yang berkembang di Kediri adalah agama hindu genre Waisnawa ( Airlangga titisan Wisnu).
Didalam bidang spiritual di Kerajaan Kediri juga sangat maju (Pigeaud, 1924:67). Daerah ibadah
dibangun di mana-mana.

Para guru kebatinan mendapat area yang terhormat. Lebih-lebih Sang Prabu sendiri sering
jalankan tirakat, tapa brata dan semedi. Beliau senang bermeditasi di sedang hutan yang sepi.
Laku prihatin dengan tangkal dhahar versus guling, kurangi makan tidur.

Hal ini jadi aktifitas ritual sehari-hari. Tidak mengherankan apabila Prabu Jayabhaya ngerti
sadurunge winarah (Mengerti sebelum berjalan) yang bisa meramal owah gingsire masa. Ramalan
itu sungguh relevan untuk membaca tanda-tanda era saat ini.

Prabu Jayabaya memerintah antara 1130 – 1157 M. Bantuan spiritual dan material berasal dari
Prabu Jayabaya didalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat
dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa.

Terkecuali penduduk kecil sampai saat ini ingat pada beliau, hal itu tunjukkan bahwa pada masanya
berkuasa tindakannya selalu bijaksana dan adil pada rakyatnya. Kehidupan beragama telah diatur
juga didalam Undang-Undang. Tiap bab berisi pasal-pasal yang homogen, supaya ada sistematika
didalam penyusunan. Udah tentu bahwa susunannya semula menganut sebuah platform.

Kitab hukum per Undang-Undangan itu disusun sebagai berikut :

Bab I                  : Sama Beda Dana Denda, berisi ketentuan diplomasi, aliansi,   konstribusi dan
sanksi.

Bab II                 :  Astadusta, berisi tentang sanksi delapan kejahatan (penipuan, pemerasan,
pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, pembalakan, penindasan dan
pembunuhan)

Bab III                 : Kawula, berisi tentang hak-hak dan kewajiban masyarakat sipil.

Bab IV                 : Astacorah, berisi tentang delapan macam penyimpangan  administrasi
kenegaraan.

Bab V                   : Sahasa, berisi tentang sistem pelaksanaan transaksi yang berkaitan
pengadaan barang dan jasa.

Bab VI                  : Adol-atuku, berisi tentang hukum perdagangan.

Bab VII                 : Gadai atau Sanda, berisi tentang tata cara pengelolaan lembaga  pegadaian.

Bab  VIII               : Utang-apihutang, berisi aturan pinjam-meminjam

Bab IX                  : Titipan, berisi tentang sistem lumbung dan penyimpanan barang.

Bab X                   : Pasok Tukon, berisi tentang hukum perhelatan.

Bab XI                  : Kawarangan, berisi tentang hukum perkawinan.

Bab XII                 : Paradara, berisi hukum dan sanksi tindak asusila.

Bab XIII                : Drewe kaliliran, berisi tentang sistem pembagian warisan.

Bab XIV                : Wakparusya, berisi tentang sanksi penghinaan dan pencemaran  nama baik.

Bab XV                 : Dendaparusya, berisi tentang sanksi pelanggaran administrasi.

Bab XVI                : Kagelehan, berisi tentang sanksi kelalaian yang menyebabkan
kerugian publik.

Bab XVII               : Atukaran, berisi tentang sanksi karena menyebarkan permusuhan.

Bab XVIII              : Bumi, berisi tentang tata cara pungutan pajak.

Bab XX                 : Dwilatek, berisi tentang sanksi karena melakukan kebohongan  publik.

Kehidupan Sosial Dan Budaya 

Keadaan penduduk Kediri udah teratur. Penduduknya telah mengenakan kain hingga di bawah
lutut, rambut diurai, dan juga rumahnya higienis dan rapi. Didalam perkawinan, keluarga pengantin
wanita terima maskawin berupa emas. Orang-Orang yang sakit memohon kesembuhan kepada
dewa dan Buddha.

Perhatian raja pada rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab Lubdaka yang memuat
tentang kehidupan sosial penduduk pada saat itu. Tinggi rendahnya prestise seseorang bukan
berdasarkan pangkat dan harta bendanya, namun berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja
juga sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, masyarakat dapat leluasa
menjalankan kegiatan kehidupan sehari-hari.

Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra yang dihasilkan.
Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan kepada Empu Sedah untuk
mengubah kitab Bharatayuda ke di dalam bahasa Jawa Antik. Sebab tidak selesai, pekerjaan itu
dilanjutkan oleh Empu Panuluh.

Di dalam kitab itu, julukan Jayabaya disebut sebagian kali sebagai sanjungan kepada rajanya.
Kitab itu berangka tahun didalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha candrama
(1079 Saka atau 1157 M). Tidak cuman itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya
dan Hariwangsa.

Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain sebagai berikut:

  • Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. Kitab itu ditulis
    oleh Empu Tan Akung.
  • Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu berisi pujian
    kepada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota
    kerajaannya adalah Dahana.
  • Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai seorang
    pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan
    rohnya diangkat ke surga.

Selain karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada zaman Kediri, antara
lain sebagai berikut.

  • Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi
    dikasihi setiap orang karena suka menolong dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi
    Rukmini.
  • Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini yang
    terkena kutuk Begawan Trenawindu.

Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi. Misalnya, cerita Kresnayana
dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief Parthayajna dan Kunjarakarna.

Karya di Bidang Hukum Tata Negara

Empu Triguna hidup pada masa pemerintahan Prabu Jayawarsa di Panjalu pada tahun 1026 Saka
atau 1104 Masehi (Poerbatjaraka, 1957: 18). Prabu Jayawarsa ini juga jadi patron bagi para
pujangga didalam mengembangkan dinamika ilmu hukum dan tata praja. Para cendekiawan yang
berbakat diberi fasilitas untuk mengaktualisasikan idealismenya.

Pernyataan ini didukung, sebenarnya telah digarisbawahi oleh pujangga kami dahulu. Karya hukum
dan tata praja yang sudah diciptakan oleh Empu Triguna adalah Kakawin Kresnayana. Kakawin
Kresnayana memuat tentang ilmu hukum dan pemerintahan. Prabu Jayawarsa juga benar-benar
peduli dengan kehidupan ilmu ilmu, sebagai tanda bahwa beliau juga seorang humanis.

Empu Manoguna adalah rekan seangkatan Empu Triguna. Keduanya merupakan pujangga istana
masa Prabu Jayawarsa di Kerajaan Kadiri.Menilik sebutan Empu Manoguna dan Triguna ada
bagian yang mirip, bisa saja besar dapat diduga keduanya masih ada interaksi kerabat atau
seperguruan. Yang menyadari kedua Empu ini adalah konsultan dan penasehat utama Prabu
Jayawarsa.

Karya hukum dan tata praja kreasi Empu Manoguna adalah Kakawin Sumanasantaka, cerita yang
bersumber berasal dari Kitab Raguwangsa karya pujangga besar berasal dari India, Sang Kalisada.
Efek India ke di dalam kehidupan rakyat Jawa Antik memang besar, baik yang bersifat Hindu
maupun Buda.

Hal ini tampak dengan ungkapan bahasa Sansekerta yang masuk didalam kosakata ilmu ilmu Jawa
Antik. Sumanasantaka berasal berasal dari kata sumanasa = kembang dan antaka = mati. Artinya
adalah mati oleh kembang. Serat Sumanasantaka menceritakan kebijaksanaan seorang raja di
dalam memimpin rakyatnya.

Karya hukum dan tata praja Empu Dharmaja yang terkenal adalah Kakawin Smaradahana dan
Kakawin Bomakawya. Kitab Smaradahana menceritakan Batara Kamajaya yang memiliki cii-ciri
keagungan. Kitab Bomakawya menurut Teeuw (1946:97) menceritakan cara memimpin yang
berdasarkan pada nilai keadilan dan perdamaian.

Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Sukses
gemilang Kerajaan Kediri didukung oleh tampilnya cendekiawan terkemuka Empu Sedah, Empu
Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna dan Empu Manoguna. Mereka adalah jalma sulaksana,
manusia sempurna yang udah meraih derajat oboring jagad raya.

Di bawah kepemimpinan Prabu Jayabhaya, Kerajaan Kadiri mencapai puncak peradaban, terbukti
dengan lahirnya kitab-kitab hukum dan kenegaraan sebagaimana terhimpun didalam karya-karya
Kakawin Bharatayuda oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh , Gathotkacasraya dan Hariwangsa
oleh Empu Panuluh &Nbsp;Yang sampai kini merupakan warisan ruhani bermutu tinggi.

Masa Kejayaan Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan ketika masa pemerintahan Raja Jayabaya. Area
kekuasaannya semakin meluas yang berawal berasal dari Jawa Sedang meluas sampai hampir ke
semua tempat Pulau Jawa.

Tidak cuman itu, dampak Kerajaan Kediri juga hingga masuk ke Pulau Sumatera yang dikuasai
Kerajaan Sriwijaya. Kejayaan pada saat itu semakin kuat ketika terdapat catatan berasal dari kronik
Cina yang bernama Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M memuat tentang Negeri paling kaya di masa
kerajaan Kediri pimpinan Raja Sri Jayabaya.

Bukan cuman area kekuasaannya saja yang besar, melainkan seni sastra yang ada di Kediri
memadai mendapat perhatian. Dengan demikian, Kerajaan Kediri semakin disegani pada masa itu.

Masa Runtuhnya Kerajaan Kediri

Kerajaan Panjalu / Kediri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya yang juga lebih dikenal
dengan nama Dandang Gendis., dan dikisahkan di dalam ”Pararaton” dan ”Nagarakretagama”.
Pada tahun 1222 Kertajaya tengah berselisih melawan kaum brahmana. Selama pemerintahannya,
kondisi Kediri jadi tidak aman. Kestabilannya kerajaan menurun.

Hal ini disebabkan Raja Kertajaya punya maksud kurangi hak-hak kaum Brahmana. Hal ini
ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak
aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta pertolongan ke Tumapel yang saat itu
diperintah oleh Ken Arok.

Raja Kertajaya yang mengerti bahwa kaum Brahmana banyak yang lari dan minta pertolongan ke
Tumapel, mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Tumapel. Kala itu, Ken Arok dengan
bantuan kaum Brahmana lakukan agresi &Nbsp;Ke Kerajaan Kediri.

Kedua pasukan itu bertemu di dekat Genter , kurang lebih Malang (1222 M). Di dalam pertempuran
itu pasukan Kediri berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri. Dengan demikian,
berakhirlah kekuasaan kerajaan Kediri . Pada akhirnya kerajaan Kediri jadi tempat bawahan
Kerajaan Tumapel. Akhirnya berdirilah Kerajaan Singasari dengan Ken Arok sebagai raja pertama.

KESIMPULAN

Kerajaan Kediri / Panjalu yang merupakan kerajaan hasil bagi berasal dari kerajaan Kahuripan di
Jawa Timur pada masa raja Airlangga merupakan kerajaan yang patut diperhitungkan. Kerajaan
yang berada di kurang lebih wilayah Kediri ( sekarang ) ini mengalami masa puncak kejayaan pada
masa raja Jayabaya yang sangat terkenal dengan ilmu dan keahliannya di dalam membaca masa
depan atau meramal.

Tak sekedar cakap di dalam meramal, lebih-lebih raja Jayabaya yang membawa kemakmuran bagi
Kediri udah bisa mengelola dan memimpin kerajaannya dengan sangat baik. Hal ini terbukti berasal
dari beraneka peninggalan sejarah yang sudah direkonstruksikan dan memberitahukan kepada
pembaca sekarang bahwa pada zaman kerajaan Kediri udah muncul beraneka sastra dan budaya
yang sangat luar biasa, mulai berasal dari kitab Bharatayudha, Hariwangsa hingga Gatotkacasraya.

Kerajaan Kediri pada masa itu merupakan kerajaan yang mandiri dan makmur, yang secara
ekonomi mengalami kecukupan dengan mendayagunakan pertanian, perdagangan, dan
peternakan. Kehidupan yang makmur membawa dampak penduduk di dalam aspek sosial
mengalami hal yang senada. Sebab dipimpin raja yang bijak, tak urung kemajuan berasal dari
penduduk yang berkecukupan didalam hal pakaian, pangan dan papan.

Tak cuman didalam hal fisik yang mencoba dibangun oleh raja Jayabaya pada saat itu juga sudah
diberlakukan ketertiban dan hukum yang memahami dank eras bagi semua penduduk Kediri.
Meskipun kemakmuran itu tidak berjalan lama sebab lantas kegelapan mengganti masa-masa jaya
kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Kertajaya (1222 M).

Kerincuhan dan selisih mengerti yang berlaku dan berlangsung antara Kertajaya dan kaum
brahmana ternyata membawa akhir bagi kerajaan Kediri. Brahnama yang tidak sepahan meminta
dukungan Ken Arok yang pada saat itu juga tengah gencar-gencarnya lakukan bisnis ekspansionis
untuk mendirikan suatu kerajaan yang pada kelanjutannya bernama Singasari.

Tapi, keberadaab kerajaan Kediri merupakan suatu bukti eksistensi dan kemakmuan salah satu
kerajaan di Jawa Timur sebagai penerus dinasti Isyana. Dengan platform pemerintahan, birokrasi,
ekonomi, sosial, budaya, dan agama yang mengalami kemajuan secara gilang-gemilang.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat Yoedoprawiro, 2000. Relevansi Ramalan Jayabaya dan Indonesia Abad XXI. Jakarta :
Balai Pustaka.

Meinsma, 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647.
S’Gravenhage.

Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta:
Kanisius.

Pigeaud, 1924. De Tantu Panggelaran Uitgegeven, Vertaald en Toegelicht. Disertasi Leiden.

Poerbatjaraka, 1957. Kapustakan Jawi. Jakarta : Djambatan.

Rassers, 1959. De Panji Roman, Leiden : Dissertatie.

Stutterheim, 1930. Rama Legenden und Rama Reliefs in Indonesia, Munchen : Kulturkreis der
Indische.

Teeuw, 1946. Het Bhomakawya, Leiden : Dissertatie.

Zoetmulder, 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.

Itulah ulasan tentang Kerajaan Kediri : Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Beserta Kehidupan
Politiknya Secara LengkapSemoga apa yang diulas diatas bermanfaat bagi pembaca.

Lihat Juga : 11 Aplikasi Kamera Terbaik untuk Foto & Video di Android

Akhir Kata

Semoga pembahasan diatas bisa membantu kalian semua yang sudah membacanya. Terima kasih sudah membaca artikel ini hingga selesai. Jangan lupa untuk tetap konsisten mengunjungi website ini dan jangan lupa bagikan website ini kepada semua teman kalian dan ikuti terus idhealt.com agar tidak ketinggalan info terbaru lainnya.

You May Also Like